Pajak, Zakat, Apakah sama?


Ahmad Thoriq athoriqks@gmail.com

Sebagai seorang muslim yang hidup di dunia modern, kita tidak bisa menghindari modernisasi dan berbagai kemajuan serta sistem hidup yang diterapkan sesuai dengan negara kita tinggal. Saya sebagai orang Indonesia misalnya, sebagai muslim, sebagai seorang anak, sebagai seorang pelajar, juga sebagai anak muda, memiliki banyak peran dan tanggung jawab di masyarakat. Sebagai orang Indonesia, saya harus mencintai negara dan bangsa saya dengan berupaya sebaik mungkin melakukan hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi negara. Bahasa mudahnya, “jangan tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyalah apa yang sudah kau berikan kepada negara”. Kemudian sebagai seorang muslim, saya juga harus menegakkan nilai dan ajaran-ajaran Islam di seluruh sisi kehidupan saya. Kewajiban yang lima seperti syahadat, salat, zakat, puasa Ramadhan, dan berhaji jika mampu adalah kewajiban yang wajib saya tunaikan. Syahadat, salat, puasa, dan haji mungkin sudah sama-sama kita ketahui tata cara pelaksanaannya. Salah satu rukun Islam yang sangat berkaitan dengan sosial-ekonomi adalah rukun berzakat.

Zakat adalah sejumlah uang yang dibayarkan ketika sudah mencapai haul dan nisabnya. Zakat adalah pembersihan harta yang diambil dari orang kaya untuk orang faqir dan untuk manfaat sosial lainnya. Dari pengertian sederhana ini, mungkin hal selanjutnya yang terbayang di kepala kita adalah mengenai pembayaran zakat, besarannya, juga rincian-rinciannya. Intinya, gambaran yang terbayang di kepala kita mungkin adalah gambaran akan kebingungan atau kerumitan akan zakat. Sebagai seorang muslim, kita juga memiliki kewajiban ekonomi lain yang dibebankan kepada kita oleh negara, yakni kewajiban membayar pajak. Setelahnya timbul sebuah pertanyaan. Apakah keduanya sama? Bagaimana seorang muslim mengkompromikan kedua kewajiban ini dalam hidupnya? Seperti apa perbuatan seharusnya yang dilakukan seorang muslim terhadap kedua kewajiban ini? Untuk jelasnya, mari kita bahas pembahasannya satu persatu.

Ada beberapa hal yang dapat menjadi tolok ukur pembeda di antara kedua hal ini. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh (Hardan, 1999) dalam bukunya yang berjudul Al-Iqtisaad Al-Islaamiy, adalah poin-poin pembeda yang penting untuk diketahui oleh setiap muslim agar tidak salah menilai zakat dan pajak.

Beberapa poin pertanyaan tersebut adalah: Apa bentuk kewajibannya? Bagaimana cara diambilnya? Dari siapa uang tersebut diambil? Bagaimana pola pemberian manfaat/timbal balik setelahnya? Apa fungsi utamanya?

Jawaban dari pertanyaan di atas untuk masing-masing (zakat dan pajak) kurang lebih sama, namun memiliki beberapa perbedaan. Pajak adalah kewajiban harta yang diambil secara paksa oleh negara dari mukallifiin (rakyat) tanpa pemberian manfaat secara langsung untuk kemaslahatan bersama. Sementara zakat juga merupakan kewajiban harta yang diambil secara paksa oleh negara dari rakyat tanpa pemberian manfaat secara langsung untuk kemaslahatan bersama. Perbedaannya terletak pada tiga hal utama yakni: Kewajiban pajak ditetapkan oleh negara, sedangkan kewajiban zakat ditetapkan oleh Allah Pajak belum tentu terdapat nilai keadilan di dalamnya, sedangkan zakat Allah jamin sendiri nilai keadilannya. Pajak belum tentu sempurna karena merupakan produk kebijakan manusia, sedangkan zakat adalah syariat Allah yang pasti sempurna, dan ini adalah bagian dari akidah seorang muslim.

Melihat dari ketiga perbedaan di atas, mungkin kita akan bertanya-tanya, apakah benar pajak tidak adil dan tidak sempurna, sedangkan zakat adalah kebalikannya? Pertanyaan yang sama juga pernah membuat seorang analis muslim menganalisa pembayaran pajak dan zakat di Kerajaan Yordania. Kembali dalam buku yang sama, Taher Haydar Hardan mengatakan dalam bukunya bahwa seorang peneliti itu berusaha membandingkan pendapatan Kerajaan Yordania dari pajak-pajak yang diberlakukan dengan kemungkinan pendapatan yang negara tersebut dapatkan dari pembayaran zakat oleh para wajib zakat di negara tersebut. Hasil yang keluar cukup mencengangkan. Dalam buku tersebut, penulis menepis pendapat yang mengatakan bahwa zakat adalah sekadar instrumen syariah untuk pemerataan kekayaan di masyarakat. Bahkan lebih dari itu, penulis mengatakan bahwa zakat adalah “Multiplier” dan “Accelerator” bagi perekonomian suatu negara. Lebih lanjut, beliau juga memberikan sebuah analogi bagi perbedaan antara zakat dengan pajak. Analogi tersebut adalah perbedaan haji dengan rekreasi. Betul kita katakan bahwa haji adalah bagian dari pemasukan sebuah negara, terutama dari segi pemasukan terkait visa, hotel, dan hal-hal berkaitan dengan pariwisata. Akan tetapi, hal tersebut tidak menjadikan haji sama dengan pariwisata. Haji tetaplah haji, dan pariwisata adalah hal lain di luar haji, sekalipun keduanya memiliki persamaan dalam hal perpindahan manusia dan segala hal terkait penginapan dan perhotelan. Dengan demikian, pajak adalah satu hal di luar zakat. Pajak adalah pajak, zakat adalah zakat. Sekalipun keduanya memiliki beberapa persamaan, terdapat perbedaan yang menyebabkannya tidak bisa disatukan dan tetap berbeda. Adapun sikap sebagai seorang muslim adalah menjalankan keduanya. Adapun menjalankan zakat maka kita jalankan dengan total dan kepatuhan mutlak, karena zakat sudah dijamin nilai keadilan dan kemudahannya oleh Allah. Sedangkan pajak, kita jalankan sebagai bentuk ketaatan kepada Ulil Amri (pemimpin) sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nisa: 59. Hanya saja, ketaatan kepada pemimpin sifatnya tidak mutlak, dan kita hanya perlu taat selama perintahnya adalah perintah kebaikan dan tidak memusuhi Allah dan Rasulullah ﷺ. Maka dari itu, ketika seorang menemukan pembayaran pajak yang ditetapkan secara zalim dan berlebihan juga mencekik rakyat, seorang warga negara tersebut berhak untuk protes dan tidak mematuhinya. Pendapat ini adalah juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi secara umum mengenai ketaatan kepada pemimpin, yakni ketaatan yang tidak bersifat mutlak.

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق "Tidak boleh taat kepada makhluk, dalam hal yang menyelisihi Sang Pencipta" (Allah).

References Hardan, T. H. (1999). Al-Iqtisaad Al-Islaamiy: Al-Maal, Ar-Ribaa, Az-Zakaat. Muscat, Oman: Daar Waail Li An-Nasyr.

Posted in Keuangan, Umum on Nov 10, 2020