Menganggur dalam Islam


Ahmad Thoriq, 1806209166 athoriqks@gmail.com

Penganggur atau orang yang menganggur (tidak mempunyai pekerjaan) adalah sebuah fenomena nyata di dunia kita saat ini. Kehidupan perkotaan yang sarat dengan kelas manusia seperti pekerja dan bos, atau karyawan dan atasan, atau kelas, kelas yang senada terkadang menjadi jurang pemisah yang sangat menakutkan antara keduanya. Walau keduanya sama-sama saling bekerja, kita sangat tahu bahwa keduanya memiliki gaji dan kehidupan yang berbeda. Meskipun begitu, keduanya masih terpandang baik dalam Islam, karena keduanya sama-sama bekerja. Lantas bagaimana Islam memandang seorang yang menganggur? Apakah semua pengangguran tidak diperbolehkan? Bagaimana Islam mengatasi pengangguran dengan instrumen syariat yang Allah berikan? Pernahkah ada contoh kasus yang sama dalam sejarah Islam? Semua pertanyaan ini wajib untuk kita cari jawabannya di paragraf selanjutnya.

Sebagaimana yang pernah kita sebutkan dalam artikel sebelumnya, bekerja merupakan hal yang sangat terpuji dalam Islam. Bahkan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah mencium tangan seorang sahabatnya yang kasar karena bekerja dan mengatakan bahwa tangan tersebut adalah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Bahkan sebaik-baik makanan yang kita makan adalah yang kita beli dari hasil jerih payah kita sendiri. Dalam kaidah sederhana bahasa Arab juga disebutkan: الفاعل يفعل لكي يكون فاعلاً ‘fa’il/subjek harus bekerja agar menjadi subjek/pekerja (dalam kalimat). Oleh karenanya, bekerja juga merupakan hal yang sangat terpandang dari pandangan Islam maupun pandangan orang Arab saat itu.

Dalam hal teori, semua hal mengenai bekerja sudah tercatat rapi dalam pembukuan Al-Qur’an dan hadis. Dalam hal praktik, kita bisa melihat langsung melalui buku-buku Sirah Nabawiyyah yang mengisahkan kehidupan Rasulullah. Ketika kita membuka lembaran-lembaran sejarah tersebut, kita akan dapati bahwa beliau mencontohkan kehidupan seorang muslim sebagai seorang yang profesional dalam bekerja, juga seorang yang memiliki akhlak yang luhur kepada sesama. Sebelum menjadi seorang rasul, Nabi Muhammad adalah seorang pedagang yang ulung. Beliau berdagang mulai dari usia 10 tahun saat diasuh pamannya, Abu Thalib. Beliau pertama kali mengikuti perjalanan dagang dengan rute Mekkah-Syam, yang mana dari perjalanan itu pula beliau berkecimpung pertama kali di dunia kerja, spesifiknya yakni dunia perdagangan. Keprofesionalan beliau diakui oleh seluruh penduduk Mekkah dengan memberikannya gelar Al-Amin yang artinya ‘terpercaya’, karena seluruh perjanjian apapun baik dalam hal bisnis maupun dalam hal sosial pasti ditunaikan oleh Nabi Muhammad. Dalam kisah hidupnya pula, Nabi Muhammad mencontohkan kepada kita untuk melakukan dua kerja yaitu kerja duniawi dan kerja ukhrawi. Boleh kita bekerja dalam hal dunia, namun juga jangan sampai kita melupakan tujuan utama yaitu akhirat. Oleh karenanya pekerjaan beliau dibimbing dengan wahyu syariat yang menolak unsur-unsur keburukan dalam bekerja seperti menipu, spekulasi, dan berbagai unsur keburukan lain dalam bekerja. Aspek kepercayaan (trust) sangat dijunjung tinggi oleh Rasulullah ﷺ. Dari perjalanan hidup beliau, kita juga dapat melihat bahwa bekerja pun ditekankan, bahkan sebelum beliau menerima wahyu yang membuatnya menjadi Nabi dan Rasul, yang artinya bekerja merupakan asas hidup bagi setiap manusia. Manusia yang tidak bekerja, pada hakikatnya bisa dibilang lebih rendah dari hewan, karena hewan yang tidak memiliki akal kecerdasan saja masih keluar dari sarangnya saat pagi hari untuk mencari makan dan juga bersabar ketika belum mendapat makanannya.

Bagaimana halnya dengan menganggur? Pernahkah ada sahabat atau Rasulullah menganggur dari bekerja baik duniawi maupun ukhrawi? Amat sangat sulit jika kiranya kita ingin mencari hadis-hadis mengenai menganggur dalam literatur Islam manapun. Sejarah kaum muslimin dipenuhi dengan amal-amal mereka baik duniawi maupun ukhrawi. Pun sekiranya kita menemukan hadis mengenai orang yang belum mendapat pekerjaan, haditsnya adalah hadis sebagai berikut. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, "Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta (mengemis) lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu kepadanya." (HR. Bukhari No. 2074).

Pun dalam kitab Al-Iqtisaad Al-Islaamiy (Hardan, 1999), kita akan menemukan hal lain yang lebih mencengangkan. Islam tidak hanya memberi perhatian khusus kepada bekerjanya manusia, yakni manusia tidak boleh menganggur, melainkan dalam Islam juga disebutkan bahwa harta tidak boleh dibiarkan menganggur. Al-Iktinaaz (menganggurkan harta) adalah sesuatu yang dilarang dalam Islam, sama halnya dengan lahan yang kosong, tidak boleh dibiarkan menganggur. Seseorang yang memiliki lahan kosong dan tidak dimanfaatkan, dianjurkan oleh Islam untuk mencari orang yang mampu mengolah lahan tersebut dengan baik, kemudian untuk keuntungan bisa dibagi antara pemilik lahan dengan sang pekerja. Alangkah sempurnanya Islam yang menghadirkan tidak hanya teori, melainkan juga praktik yang konkret dan riil dari para sahabat dan Rasulullah sendiri akan pentingnya bekerja. Harta menganggur saja tidak diperbolehkan dalam Islam, bagaimana jika manusia yang menganggur?

Referensi Hardan, T. H. (1999). Al-Iqtisaad Al-Islaamiy: Al-Maal, Ar-Ribaa, Az-Zakah. Muscat, Oman: Dar Wael.

Posted in Umum on Aug 10, 2020